Profil : Sejarah Pindad


MEMASUKI kompleks PT Pindad seluas 66 hektare seperti masuk ke pabrik gula zaman Belanda. Arsitektur kantornya kuno. Pintu, kusen, bahkan perangkat pendingin ruangan model klasik. Kursi dan meja tamu di ruang direksi, misalnya, menggunakan kayu jati dan bambu era-1980-an.

Pindad memang perusahaan yang sangat tua. ''Kalau dihitung sejak cikal bakalnya, umurnya dua abad lebih,'' ujar Direktur Utama PT Pindad Dr Adik Avianto Sudarsono dalam wawancara khusus dengan Jawa Pos di ruang kerjanya (22/01).

Sejarah pengembangan pabrik senjata dan amunisi Pindad dimulai pada 1808 dengan didirikannya Artillerie Constructie Winkel di Surabaya. Pada 1924, pabrik itu digabung dengan pabrik amunisi ringan dan berat serta material eksplosif yang diberi nama Artillery Plant, kemudian dipindahkan ke Bandung.

Pada 1950, pabrik diserahkan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia yang kemudian diberi nama resmi Pabrik Senjata Munisi (PSM) di bawah manajemen Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada 1979, nama diubah menjadi Perindustrian Angkatan Darat (Pindad). Pada 29 April 1983, statusnya berubah menjadi perusahaan milik negara yang diberi nama PT Pindad (persero) dan dalam Keppres No 44 Tanggal 29 April 1989 dimasukkan ke industri strategis.

Pembuatan amunisi dimulai pada 1960. Sejarahnya dimulai dengan pengambilalihan Cassava Factory (pabrik tepung ubi kayu) di Turen, Malang, dari Belanda. Pabrik itu tidak didirikan di Bandung karena faktor keamanan yang mengharuskan pembuatan mesiu jauh dari permukiman penduduk. Aktivitasnya dimulai dengan memproduksi peluru kaliber 12,7 mm pada 1968, diikuti dengan kaliber 7,62 mm dan kaliber 9 mm pada 1970, serta kaliber 3,56 mm pada 1973.

Sejak 1983, PT Pindad juga telah menambah kemampuannya memproduksi produk-produk nonmiliter seperti rem kereta api, generator, mesin perkakas, dan berbagai macam peralatan mekanis dan listrik yang lain. Menurut Adik, kemampuan Pindad telah meningkat jauh sejak dipimpin B.J. Habibie pada era 1984. ''Sekarang bahkan Malaysia tertarik membeli panser produksi kita,'' kata pria yang hobi off road itu.

Di Asia Tenggara, kemampuan membuat panser baru dimiliki Indonesia. ''Singapura saja belum bisa. Negara lain juga membeli dari luar semua. Jadi, kalau ditanya kita nomor berapa, saya susah menjawab karena memang belum ada yang menjadi pembanding,'' kata Adik yang masih saudara kandung Dirut PT Dirgantara Indonesia Budi Sudarsono.

Untuk senjata yang lain, seperti pistol atau senapan, negara-negara Asia Tenggara sudah bisa memproduksi. ''Misalnya, kualitas peluru kita bisa membandingkan dengan buatan Singapura atau Filipina. Tapi, kalau kualitas panser, kita susah mencari padanan di Asia Tenggara karena memang belum ada yang membuat," katanya.

Pindad kini sedang bersaing dengan Korea Selatan dan Prancis. ''Tim dari Malaysia sudah datang untuk melihat langsung bengkel kita dan juga mencoba Anoa,'' katanya. Rupanya, minat negeri jiran itu terdengar sampai Paris, Prancis. ''Renault kurang suka,'' kata Adik.

Maklum, mesin Anoa memang masih dari Renault. ''Mereka bilang, kami bantu Anda mengembangkan di dalam negeri, mengapa Anda jualan di luar,'' katanya. Untuk mengklarifikasi isu itu, Adik langsung terbang ke Prancis. ''Saya jelaskan langsung kepada mereka,'' katanya.

Rupanya, Renault tak ingin Pindad memanfaatkan kesempatan. '''Istilahnya jangan kambing tiba-tiba menjadi sapi. Ikut orang, tapi menjadi besar sendiri,'' katanya. Sebenarnya, Adik juga sependapat dengan hal itu. Apalagi, Pindad juga sering didompleng perusahaan dari luar negeri, yang awalnya menawarkan kerja sama, tapi ujung-ujungnya ditinggal. Tapi, khusus untuk panser, Adik tetap sesuai rencana. ''Saya jelaskan baik-baik ke Renault, nanti Malaysia akan menentukan sikap pertengahan Februari,'' katanya.(Ars)


Sbr :Jawa pos

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama