60 Tahun Indonesia – Rusia: Sahabat Lama di Era Baru

Setelah mengalami kerenggangan selama masa perang dingin, hubungan Indonesia-Rusia sekarang semakin kental. Data menunjukkan adanya kemajuan besar di semua aspek. kedua bangsa harus lebih bergandeng tangan untuk saling mengisi demi kemakmuran kedua bangsa dengan kegiatan kongkrit.

Hal ini merupakan kesimpulan dari seminar di Akademi Diplomatik Moskow (6/04) yang merupakan rangkaian untuk mengisi perayaan hubungan diplomatik Indonesia dan Rusia ke-60. Acara ini dihadiri oleh Wakil Menlu Rusia, Alexey N. Borodavkin, Rektor Akademi Diplomatik, Prof. AN Panov, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu, Andri Hadi, mantan Mendag Luhut Panjaitan, kalangan swasta, akademisi dan budayawan dari kedua belah pihak.

Dalam pernyataan pembukanya Wakil Menlu Rusia dengan tegas menyatakan, perkembangan positif kedua negara belakangan ini, sangat terkait dengan dengan basis sejarah yang tidak bisa dibantah. Hubungan keduanya sudah dimulai sejak abad ke-17 di masa Raja Peter I dimana Indonesia dikenal oleh peneliti Rusia sebagai “Negeri Kepulauan”.

Tahun 1806, Ivan Kruzernter dan Yuri Lisyansky sempat singgah di Selat Malaka dalam pelayarannya keliling dunia. Bahkan karena perdagangan kedua pihak makin maju maka tahun 1894 didirikan konsulat Rusia di Batavia.

Hubungan kedua negara juga menghangat pada era 1950-an dimana Indonesia dan Rusia berangkulan dalam kepentingan idiologi yang antara lain dimanifestasikan dalam kerjasama pertahanan dan pendidikan.

Borodavkin mencatat, kerjasama di masa kini semakin kental dan dimanifestasikan dalam banyak bidang seperti di PBB, G-20, APEC dan organisasi internasional lainnya. “Dalam hal ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Indonesia sehingga Rusia dapat aktif dalam forum ASEM,” katanya. “Sebaliknya, saya jamin bahwa kita juga akan membantu Indonesia khususnya di bidang tanggap darurat,” tambahnya.

Dubes Hamid Awaludin menggaris bawahi bahwa hubungan mesra tersebut juga direalisasikan dengan makin banyaknya turis ke Indonesia yang mencapai nyaris 70 ribu orang (2009), kerjasama pendidikan yang merunyak dan banyaknya mahasiswa-mahasiswi Rusia yang kembali tertarik mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Di bidang ekonomi, kerjasama bidang perdagangan meningkat signifikan pada kisaran 1 milyar dalam dua tahun berakhir. “You will be forgotten, no way,” ujar Hamid di hadapan 100an peserta seminar.

Uniknya kedua bangsa memiki kesamaan masalah yang dihadapi dalam pembangunan modern civilization yakni varian suku, bangsa, agama dan bahasa. Tanpa penanganan yang tepat, aneka perbedaan tersebut dapat menimbulkan hambatan pembangunan yang serius.

Karenanya, A. Dugov, professor dari Institut Oriental Studies, Moskow, menyarankan untuk mempelajari asal muasal permasalahan (root causes). Sejalan dengan itu, Andri Hadi mengusulkan ditingkatkannya dialog budaya dan agama untuk menurunkan tingkat ketegangan. “Itu bisa dilakukan melalui pemberdayaan kaum moderat, pendidikan, toleransi dan kesadaran globalisasi,” katanya.

Sementara itu Luhut Panjaitan menyarankan agar kedua bangsa harus mulai melakukan kagiatan yang kongkrit dalam banyak bidang. Tidak lagi bicara wacana. Menghindari penandatanganan MoU bila tidak dilaksanakan. Bahkan, perlu dilakukan evaluasi atas berbagai kegiatan yang pernah diupayakan agar hasilnya menjadi terukur.

Tidak pelak, kini kedua belah pihak harus aktif mengisi kesempatan yang ada tanpa harus menunggu dan menunda. “Kalau hubungan Indonesia dan Rusia bisa diibaratkan ritme kehidupan, maka kini kita sedang dalam posisi yang menanjak,” kata Agus Sriyono, Wakil Dubes RI Moskow. (Ars)


Sbr: KBRI Moskow/Deplu

Post a Comment

أحدث أقدم