Indonesia Kubur dan ladang para teroris

INDONESIA semakin mengukuhkan diri sebagai negeri yang subur dengan para teroris. Subur karena di Indonesia para teroris menemukan ladang untuk berkembang biak, tetapi juga subur kematian karena di Indonesia pula gembong-gembong teroris ternama menemui ajal.

Para teroris asing seperti Noordin M Top dan Dr Azahari yang warga negara Malaysia memilih Indonesia sebagai ladang petualangan. Tetapi di Indonesia pula keduanya menuai ajal di ujung senapan.

Anak-anak Indonesia pun muncul sebagai teroris yang menakutkan di dunia. Tetapi satu demi satu masuk kubur di Indonesia juga. Baik karena ditembak dalam operasi penyergapan maupun divonis mati di pengadilan. Mereka umumnya lulusan sekolah perang di Afghanistan.

Berita yang sedang hangat sekarang adalah Dulmatin. Anak Indonesia yang dicari banyak negara di dunia sebagai teroris paling berbahaya itu tewas ditembak di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, oleh Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri. Dia kembali ke Indonesia setelah sekian lama ikut berperang di Mindanao, Filipina, bersama kelompok Abu Sayyaf.

Kehadiran Dulmatin di Indonesia ternyata berkaitan erat dengan kegiatan terorisme di Aceh belakangan ini. Polisi telah menangkap tidak kurang dari 21 orang yang diduga terlibat dalam gerakan di Aceh. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang sedang menjadikan Aceh sebagai ladang utama pelatihan terorisme di Asia Tenggara.

Sebagai ladang subur, Indonesia tidak sekadar memiliki wilayah yang luas dan berbatasan dengan banyak negara yang tidak terjaga dengan baik. Wilayah-wilayah perbatasan bisa diserobot kapan saja. Itulah yang menyebabkan orang sekelas Dulmatin bisa kembali ke Indonesia dari Mindanao tanpa terdeteksi.

Ladang yang lain adalah kondisi sosiokultural yang kondusif bagi kampanye radikalisasi ideologi. Masih ada ruang yang amat terbuka bagi doktrinasi radikal atas nama agama.

Kesemrawutan administrasi kependudukan adalah faktor yang ikut memudahkan pergerakan kaum teroris. Para teroris bisa dengan gampang mengganti nama dan KTP setiap kali berpindah tempat. Itulah yang menyebabkan mereka memiliki nama alias yang amat banyak.

Perdagangan bahan-bahan kimia berbahaya juga tidak menjadi perhatian serius. Amunisi yang hanya dimiliki oleh militer, bisa dengan mudah pindah ke tangan teroris. Itulah yang menyebabkan bisa terjadi latihan militer di Aceh oleh teroris.

Untunglah, terlepas dari keburukan polisi dalam bidang penegakan hukum, dalam soal perang melawan teroris, polisi Indonesia terbukti jago. Untuk membekuk gembong-gembong teroris terkemuka yang di negara lain, sebut saja Amerika Serikat, membutuhkan biaya amat besar, Densus 88 menyelesaikan dengan efektif dan hemat biaya. Dulmatin adalah contoh yang kesekian tentang kehebatan polisi Indonesia.

Tetapi perang terhadap terorisme dalam jangka panjang tidak bisa terus-menerus mengandalkan kehebatan polisi dan senapan. Perang terhadap kemiskinan adalah pintu masuk yang efektif. Efektif, karena di tengah rakyat yang sejahtera, ide terorisme cepat usang.(Ars)


Sbr : MediaIndonesia

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama