JAKARTA--MI: Penandatanganan letter of intent (LoI) tentang kerja sama pertahanan di bidang proyek pesawat tempur ditandatangani oleh Sekjen Dephan Sjafrie Sjamsoeddin dan Commisioner of Defense Acquisition Program Administration Korsel Byun Moo-keun pada Maret 2009.
Pemerintah kemudian membuat studi kelayakan pada Juli 2009 dan sepakat untuk melanjutkan pada tahapan selanjutnya. Kementerian Pertahanan berencana untuk membuat nota kesepahaman (memorandum of understanding) sebagai tindak lanjut dari mimpi besar Indonesia.
"Kami masih dalam proses pengecekan redaksional. Kami berharap MoU itu bisa ditandatangani tahun ini," ujar Sekjen Kemenhan Marsdya Eris Herryanto kepada wartawan di Jakarta, Rabu (2/6).
Ia mengatakan, kesempatan itu tak layak untuk dilewatkan karena kebutuhan pesawat jet tempur merupakan kepastian dari suatu negara. Produsen pesawat jet tempur bisa dihitung dengan jari dan semakin lama didesain agar pengguna semakin tergantung pada produsen.
"Negara yang membuat itu di antaranya Amerika, Swedia, Rusia, dan Prancis. Tren ke depan, kami memperkirakan kita akan dibuat makin tergantung dengan negara pembuat. Semua peralatan dibuat secara computerized sehingga dibuat sedemikian rupa kita akan tergantung hingga perawatan," ujarnya.
Setelah nota kesepahaman ditandatangani, pihaknya akan membuat satuan tugas bersama yang kemudian akan bertanggung jawab dalam pembuatan desain dan pengembangan. Pemerintah memproyeksikan pekerjaan tersebut akan selesai pada 2020.
Hasil riset tersebut akan membuat lima prototipe dengan nilai proyek mencapai US$8 miliar. Indonesia akan diberi porsi ikut menyumbang 20 persen dari total proyek.
"Kita akan membuat pesawat tempur yang levelnya lebih tinggi dari F16 tapi lebih rendah dari F35. Jika ini terjadi, keterlibatan PT DI akan sangat besar. Kita bisa ikut dalam perawatannya," tukasnya. (Din/OL-04/Ars)
Sbr : MediaIndonesia